Ekonomi

Pengertian, Perkembangan dan Dasar Hukum Bank Syariah

Published

on

Dalam dunia perbankan saat ini, Anda mungkin sudah tidak asing lagi dengan bank syariah di Indonesia. Secara fungsional lembaga tersebut mempunyai tugas sama dengan bank konvensional. Namun yang berbeda adalah prinsip islam, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian menjadi pedoman sistem operasional pada lembaga itu sendiri.

Bank syariah juga bertujuan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional guna mendorong keadilan, kohesi, dan pemerataan kekayaan dalam masyarakat. Dalam pelaksanaannya bank syariah tidak boleh bertentangan dengan tuntunan ajaran syariah itu sendiri.

Mengetahui Pengertian dari Bank Syariah

Bank syariah di Indonesia adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip hukum Islam. Prinsip syariat Islam meliputi prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemanfaatan (maslahah) dan universalisme (alamiyah). Serta tidak mencakup prinsip gharar, maysir, riba, ketidakadilan dan haram dari MUI. UU Perbankan hukum islam mewajibkan lembaga untuk menjalankan fungsi sosial sekaligus fungsi lembaga Baitul Mal.

Lembaga Baitul Mal adalah lembaga yang menerima dana zakat, infaq, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya. Menyalurkannya kepada pengelola wakaf (Nazhir) sesuai dengan keinginan pemberi wakaf (Wakif). Dalam menjalankan fungsi pengawasannya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerapkan tata kelola bank syariah di Indonesia yang sama dengan lembaga tradisional. Keduanya menerapkan prinsip kehati-hatian dan memastikan tata kelola yang baik.

Meski demikian, tata kelola dan pengawasan diselaraskan dengan prinsip pedoman system berbasis islam. Pada hakikatnya organisasi ini menawarkan produk perbankan sesuai prinsip syariah. Lembaga perbankan berbasis hukum islam harus berpegang pada prinsip yang telah ditetapkan. Pasalnya, prinsip dalam lembaga perbankan merupakan hal yang cukup mendasar, mengingat keberadaan organisasi itu didasarkan pada prinsip dalam Islam .

Ketaatan yang konsisten terhadap hukum Islam dalam menjalankan bisnis perbankannya juga dipandang sebagai kekuatan dari lembaga tersebut. Untuk menjamin konsistensi dalam menjalankan operasional perbankan berdasarkan prinsip Syariah Islam, lembaga ini juga diawasi oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

Perkembangan Bank Syariah di Indonesia

Perkembangan perbankan di Indonesia dimulai pada tahun 1983, bertepatan dengan deregulasi perbankan. Ketika pemerintah memperkenalkan “sistem bagi hasil” atas pinjaman. Kemudian pada tahun 1980 muncul serangkaian inisiatif pendirian bank syariah Indonesia melalui diskusi mengenai isu lembaga islam sebagai pilar perekonomian Islam. Pada tahun 1988, banyak bank konvensional bermunculan, di antaranya perbankan regional berbasis syariah.

Perkembangan  semakin meningkat pada tahun 1990 ketika Majelis Ulama Indonesia membentuk kelompok kerja (Tim Perbankan MUI) untuk mendirikan lembaga Islam di Indonesia. Dari hasil kerja kelompok ini, berdirilah bank syariah di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia yang berdiri pada bulan November 1991. Sayangnya keberadaan lembaga tersebut belum menarik perhatian para petinggi perbankan nasional saat itu.

Hal ini berkaitan dengan landasan hukum penyelenggaraan perbankan menggunakan hukum yang berlaku dan mengacu pada undang-undang. Bank dengan sistem bagi hasil dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, tanpa menyebutkan dasar hukum Islam dan jenis transaksi yang diperbolehkan. Kemudian tahun 1998 undang-undang tersebut disempurnakan menjadi: Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.

Terdapat dua sistem perbankan (dual banking system) di tanah air, yaitu sistem konvensional dan system berbasis islam. Alhasil, undang-undang ini mendapat respon positif dengan didirikannya beberapa bank syariah di Indonesia seperti Syariah Mandiri, Bank Niaga, BTN, Bank Mega, BRI, Bukopin, BPD Jawa Barat serta yang lain.

Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indonesia

Landasan hukum lembaga ini diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang kemudian digantikan dengan UU Nomor 10 Tahun 1998. Tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Islam diubah. Sehingga, pada tahun 1998 UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.

Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dengan tegas mengatur bahwa baik lembaga umum maupun system perkreditan rakyat (BPR) dapat menyelenggarakan dan melaksanakan pembiayaan berdasarkan prinsip bank syariah di Indonesia Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 kemudian menjadi landasan hukum perbangkan tersebut.

Selain itu, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah telah diundangkan pada tahun 2008. Terdiri dari 13 bab dengan 70 pasal dan mengatur penambahan beberapa prinsip baru. Dalam UU No 21 Tahun 2008 sebenarnya sudah muncul ketika perkembangan lembaga semakin pesat. Bab 1 Pasal 1 jelas menguraikan perbedaan antara basis tradisional dan berbasis islam, memberikan berbagai definisi dan jenis dari masing-masing perusahaan.

Selain itu, undang-undang ini juga menjelaskan bahwa lembaga tersebut dalam menjalankan fungsinya menghimpun dana dari nasabah dan menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad yang diatur dalam perekonomian islam. Seperti Mudharabah, Wadi’ah, Musyarakah dan perjanjian lainnya. akad-akad lain yang tentunya sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai Islam untuk bank syariah di Indonesia.

Trending

Exit mobile version